Negara Bayi Indonesia 1945
Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara ‘bayi’ bernama Indonesia mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige Oost Indische Companie), yang merupakan multinational company pertama di Nusantara. Perusahaan dagang multinasional milik kolonial Belanda yang dibentuk oleh 14 warga Belanda bagi manajemen penjajahan dinegara jajahan di Asia Tenggara ditengah kemelut ekonomi dalam negeri Kerajaan Belanda yang terjerat hutang yang besar pasca perang dengan negara-negara tetangganya dan menuju kebangkrutan. Hukum khusus yang mereka buat tersebut sesungguhnya memang khusus untuk diberlakukan bagi para inlander/masyarakat jajahan Belanda di Hindia Belanda. Artinya kita sekarang sebasedang terjajah oleh bangsanya sendiri. Sehingga tidak mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak hukum Indonesia sampai hari ini masih memprihatinkan. Hukum harus ditegakkan dan keadilan harus dijujurkan – vivat justitia vereat mudus (walaupun langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan).
Sebagai bangsa yang merdeka harus mengevaluasi ulang atas upaya unifikasi serta kodifikasi yang telah kita lakuakn atas sumber hukum yang kita telah adopsi sejauh ini dimasa 64 tahun merdeka, sejauh mana dampak positifnya bagi kedaulatan rakyat menuju keadilan dan kesejahteraannya. Karena tanpa kita sadari Sistem Hukum Eropa Kontinental yang diadopsi Belanda dimasa lampau juga sekaligus membuat Indonesia ‘dibelandakan’ tanpa kita sadari. Karena disaat bersamaan Indonesia sekaligus mengadopsi ‘semangat menjajah’ para penjajah tersebut atas bangsa yang dijajahnya. Penjajahan terkait dengan bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia serta pembagian porsi kemakmuran dari masyarakat pemilik sumberdaya tersebut, termasuk penegakan hukum bagi para pencurinya, masih mengusik rasa keadilan rakyat.
Hari ini Indonesia berblangkon bermakna masyarakat bumiputra namun berkarakter menjajah seperti sang penjajah Belanda.[1] Dizaman penjajahan masa lalu untuk menjadi seorang Mister in de Rechten/Sarjana Hukum kesempatan tidak terbuka luas bagi seluruh rakyatinlander (bumiputra). Masa itu peluang hanya diberikan kepada para ningrat keturunan ‘darah biru’/the Royal Family semata, jadi bukan bagi mereka yang berasal dari keluarga rakyat kebanyakan yang rata-rata dari golongan petani dan nelayan.Golongan ekskulusif priyayi berdarah biru ini, mendapatkan hak diskresioner berupa: (1) bersekolah disekolah Belanda; (2) mempelajari bahasa dan kebudayaan Belanda; (3) diundang pada pesta-pesta socialite keluarga Belanda;(4) menghadiri de Koningin Dag (hari lahirnya Ratu Belanda); serta (5) mendapatkan diskresi berupa pengakuan persamaan perlakuan hukum didepan publik yang setara dengan ‘tuan putih’ mereka. Istilah ‘londo blankon’ yang bermakna lokal Indonesia/Melayu/Bumiputera yang berkelakuan (attitude) seperti orang Belanda.
Terkait masalah tersebut diatas, dapat disimak dari catatan sejarah para anggota sebuah badan yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia BPUPKI. Tercermin dari susunan nama mereka yang terlibat aktif didalam persiapan kemerdekaan Indonesia tersebut selain rata-rata bernuansa nama Jawa, juga sekaligus menyandang gelar MR singkatan dari Mister in de Rechten yang mana juga diantara mereka sebagian besar menyandang gelar kebangsawanan berupa RMT (Raden Mas Tumenggung) atau RM (Raden Mas). [2]
Hubungan-hubungan hukum yang diatur didalam masing-masing jenis hukum tersebut diatas lalu menjadi tidak cohesive serta jauh dari coherance. Dalam hal ini Schloten (1954) memberikan penjelasan lebih jauh: “De gedagsregel staat tegenover den regel van vorming van den gedagsregel, de beslissing tegenover de aanwijzirg, wie de beslissing mag geven het recht in de georganiseerde gemeenschap tegenover den vorm van die organisatie.” Artinya: “Bahwa aturan perikelakuan dibedakan dengan aturan mengenai pembentukan kaidah tersebut, suatu keputusan dibedakan dari petunjuk tentang siapa yang berhak memutuskan hukum dalam masyarakat yang terorganisasikan dengan bentuk organisasi tersebut.”
Acuan terkait masalah ini dapat dilihat pada Lemaire (1952) dalam Yudho (1986): “Verschillende bassisen voor indeling van derechtsvoorzieningen zijn mogelijk, al naar gelang van de gezichtshoek van waaruit hetgelded recht wordt besturdeerd.” Yang artinya: “Berbagai dasar pembidangan hukum adalah mungkin, sekedar dari sudut mana hukum hendak dipelajarinya.” (WLG Lemaire, 1952).Pembidangan hukum yang dimaksud didalam sendi-sendi tata hukum diatas adalah: (1) Hukum Publik dan Hukum Perdata; serta (2) Hukum Material dan Hukum Formal. Sebagaimana selanjutnya dijelaskan oleh Lemaire (1952) bahwa: “De voornamste tubricering van rechtsregel is die welke uitgezukt wordt door de begrippen publiek recht … naast privaatrecht … en de onderverdeling van biede normen …” Yang artinya: “Pembidangan terpenting dari aturan-aturan hukum adalah yang dirumuskan dengan pengertian-pengertian hukum publik … disamping hukum perdata … dan penjabaran kedalam kedua himpunan kaidah-kaidah tersebut.”
Menurut van Apeldorn (1966) dalam Yudho (2007), Hukum Publik mengatur kepentingan umum, sedangkan Hukum Perdata mengatur kepentingan khusus. Terlepas dari masalah tepat atau tidaknya dampak dari pembidangan ini, menurut Zwarensteyn (1975) namun langkah ini memiliki tujuan yaitu: “ … to denote the distinction between those areas of the law where the private rights and relations of the individual citizen are concerned (private law) and those areas where the relations of the citizen with organized society as a whole (the state or the muncipality) are concerned (public law).” Jadi Hukum Publik itu dihubungkan dengan aturan dimana terdapat unsur (campur tangan) penguasa, sedangkan Hukum Perdata biasanya berisikan hubungan pribadi. Dalam hal terkait tersebut diatas Schloten (1954) dalam Yudho (2007) mengajukan beberapa kriteria ilmu hukum yang dapat dipakai sebagai patokan, adalah: (1) pribadi yang melakukan hubungan hukum; (2) tujuan hubungan hukum sesuai sebagaimana tercantum dalam peraturan; (3) kepentingan-kepentingan yang diatur; (4) kaidah-kaidah hukum yang terumuskan.Dimana didalam kriteria hukum-hukum warisan Kolonial tersebut diatas tidak terlihat adanya keterkaitan langsung antara satu kriteria yang satu dengan kriteria lainnya didalam sebuah kesatuan kepentingan yang terpadu, holistik, serta integrated.